Malaikat itu Nyata
- Home
- Cerita Sex Gay
- Malaikat itu Nyata
CERITA SEX GAY,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Aku mengerjap, kudapati diriku hanya di tutupi selimut tipis di sebuah kamar yang hanya di terangi lilin, temaram. Tenggorokanku kering kerontang terasa sangat asin dan pahit, mataku menangkap gelas plastik berisi air putih di atas meja yang tidak jauh dari tempat tidur, aku bangkit dan mendadak terhenti oleh rasa nyeri kurasakan pada bagian lengan dan tulang keringku. Benar, ada dua luka dengan kulit yang terkelupas dan telah di obati sebelumnya. Dimana aku? Setelah menuntaskan haus sedikit tertatih aku menuju sebuah pintu dan membukanya. Angin malam di sertai aroma pasir pantai yang basah menerpaku, air laut yang tenang dengan pantulan bulan yang bersembunyi di balik awan terhampar di hadapanku di bawah sana. Aku masih bertanya-tanya. Aku di mana? Kulangkahkan kaki di balkon yang tidak begitu luas. Aku merasa seseorang bergerak kearahku cahaya lampu senter dan derak lantai papan yang di pijaknya terdengar jelas berasal dari dalam kamar. + a
“Sudah bangun?” terdengar suara laki-laki itu bersamaan sorot cahaya senter menerpa wajahku. + a
“Maaf…maaf…”ujarnya terdengar menyesal dan menghampiriku. + a
Di keremangan aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi benar dia laki-laki. + a
“Aku di mana? … kamu siapa?” tanyaku lalu perlahan mundur menuju bangku kayu di belakangku. + a
“Pelan-pelan..” sontak dia memapahku. + a
“Kamu di tempat saya sekarang petang tadi saya melihat kamu jatuh dari karang di teluk. Entah kamu sadar melakukannya atau tidak pokoknya, saya tidak tahu dan saya harus menolong. Oh iya saya Arman.” Katanya menjelaskan setelah duduk di dekatku. + a
Aku terdiam. + a
“Yah aku sengaja melakukannya…” + a
“Kamu makan dulu dan lanjut istirahat, besok pasti lebih enakan,” Arman kembali berkata, “Mari saya bantu,” dia bangkit dari duduknya. + a
“Nggak usah, saya bisa sendiri.” + a
“Ini makanannya,” dia menyodorkan sesuatu yang terbungkus kantong plastik. + a
“Terima kasih.” + a
“Jangan lupa obat penghilang nyerinya di minum juga.” + a
“Terima kasih.” + a
Malam dengan cepat mengantarkanku kepada pagi, entahlah mungkin karena aku yang memang benar-benar drop. Sinar matahari menerobos dari celah-celah dinding papan, tepat pukul sembilan kulihat jam yang ada di dinding. Mataku mengawasi semua sudut ruangan, semua baru terlihat jelas. Di sudut ruang ada meja lain sedikit agak besar dengan taplak berwarna putih lusuh di atasnya berjejer beberapa botol air mineral disana juga terdapat sebuah foto usang wanita paruh baya dengan bingkai yang masih baru, dan kotak obat. Di samping meja terdapat lemari kayu tua dengan cermin yang mulai menghitam dari sana ku tangkap bayanganku, mungkin ini baju milik Arman termasuk celana pendek ini. + a
“Aku tidak memakai celana dalam saat ini, jadi dia melepas semua. Melihat semua?” batinku mendadak risau. + a
Menuruni tempat tidur mataku menangkap sebuah ransel beserta sepatu tergeletak di lantai. Ternyata ada ada pintu lain yang menghubungkan kamar ini dengan sebuah ruang tengah yang melompang tak jauh dari pintu ada peralatan memancing joran, penggulung dengan warna merah metalik beserta coolbox mini. + a
Aku melangkah keluar balkon. Angin dan semerbak aroma laut menerpaku. Benar di depanku adalah lautan luas di seberang sana ada dermaga. Dan hanya ada bangunan ini di sini. + a
“Arman tidak mungkin tinggal di sini, mungkin liburan atau… dan dimana dia sekarang?” + a
“Sudah bangun?” teriak suara yang tak kutahu asalnya. Pandanganku mencarinya. + a
Arman. Tunggu, ternyata rambutnya panjang hampir sehabu, dia mengangkat tangan kearahku sambil tersenyum lalu kembali sibuk mengikatkan tali yang tersambung pada sebuah sampan kecil. Melihat style nya kaos oblong longgar dengan celana jeans yang sengaja di potong di atas lutut, duduk selonjoran dipasir. Dengan susah payah aku menuruni tangga dan memberi kode kepadanya agar tidak membantuku. Melihat tangga ini aku tak habis pikir bagaimana caranya dia membawaku naik ke atas saat aku dalam keadaan tidak sadarkan diri. + a
“Gimana keadaannya?” tanya Arman saat aku telah duduk tak jauh darinya. + a
“Agak mendingan. Terima kasih sudah-” + a
“Sama-sama,” potongnya. + a
Kami terdiam. + a
Mataku masih mengawasi keadaan sekitar, dan di bawah rumah panggung ada pakaian terjemur dan aku kenali pakaianku ada di sana. + a
“Saya tidak mendapatkan sepatu kamu kemarin, Hp juga,” ujar Arman, sadar dengan apa yang aku liat. + a
“Iya, saya hanya memakai sendal jepit dan kutinggalkan di dekat dermaga. Hp, memang nggak membawanya.” + a
Kening Arman mengkerut, “Oh,” ucapnya pendek. + a
“Aku yakin Arman mengerti kalau memang aku dalam misi bunih diri.” + a
“Oh iya saya Fahlevi,” kusodorkan tanganku kearahnya. + a
“Tinggal dimana?” tanyanya sebelum benar-benar melepaskan tanganku. + a
“Kawasan Sudirman.” + a
“Hah, sejauh ini?” Arman sedikit terperangah. + a
“Ya suka aja pantai di sini. Kamu?” + a
“Dewi Sartika.” + a
“Bukannya itu lebih jauh lagi?” + a
Arman menyengir. + a
“Ngapain di sini?” aku berbalik sekali lagi mengawasi rumah panggung ini seksama. + a
“Mancing.” + a
Aku mengangguk. + a
“Suka mancing juga?” tanya Arman kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya, “rokok,” katanya menawarkan. + a
“Silakan.” + a
“Suka mancing juga?” tanyanya lagi. + a
“Nggak perna coba si.” + a
“Kamu harus coba, seru.” + a
“Mungkin di lain waktu.” + a
Arman mengangguk. + a
Mataku tak luput kepadanya, jujur kuakui dia gagah. Perawakannya ideal, wajahnya tegas namun bersahabat, yang menambah daya tariknya adalah rambutnya yang di biarkan panjang. Mataku tak luput menyaksikan paha dan betisnya yang bersih dan di tumbuhi bulu. Aku cepat cepat menarik padanganku dari sana. + a
Menjelang siang kami meninggalkan tempat ini, aku tak banyak bertanya kepadanya mengenai tempat ini, siapa wanita di foto itu dan mengapa dia pulang tanpa menyetuhkan alat pancingnya dengan air laut. + a
“Hati-hati,” ujarnya saat aku menuruni tangga dengan anak tangga yang jarang. + a
Arman menitipkan motornya di sebuah rumah penduduk yang seperti sudah akrab dengannya tak jauh dari dermaga dan aku tak bisa menolaknya untuk mengantarku. Padahal aku sudah berencana memberhentikan taxi. + a
“Oh tinggal di sini?” tanya Arman sambil menengadahkan pandangannya sampai kepuncak gedung apartemen. + a
“Nggak mampir?” tanyaku basa-basi tanpa menjawab pertanyannya. + a,,,,,,,,,,,,,,,